BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Permasalahan
bagi manusia akan semakin kompleks ketika mereka menginjak usia remaja, usia
dimana mereka masih berada di jenjang pendidikan usia sekolah menengah. Pada
masa itulah mereka mulai mengenal lingkungan atau masyarakat lebih luas. yang
selalu dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang lebih rumit dan
memerlukan penanganan yang sangat serius.
Permasalahan
bagi peserta didik usia sekolah menengah timbul baik dari intern ataupun
elstern yang kesemuanya sangat mengganggu proses belajar dan pembelajaran
peserta didik di usia itu. Keingin tahuan pada usia sekolah menengah sangatlah
besar karena pada masa itu mereka
mencari jati diri dan figur yang di idolakan oleh mereka.
Lingkungan
sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Selain
mengemban fungsi pendidikan (transformasi nilai dan norma sosial). Dalam kaitan
dengan pendidikan, peran sekolah tidak jauh berbeda dengan peran keluarga,
yaitu sebagai tempat perlindungan jika anak mengalami masalah. Bagi seorang
pendidik haruslah tahu keadaan peserta didiknya dan harus bisa mengarahkan pada
hal-hal yang positif, sehingga peserta didik pada usia sekolah menengah
tersebut akan terarah pada hal-hal positif. Pendidik juga harus mengetahui
gejala-gejala yang terdapat pada peserta didik dan memberikan solusi yang
terbaik dalam menghadapi keadaan peserta didik. Selain itu, di setiap sekolah
lanjutan diadakan guru bimbingan dan penyuluhan untuk membantu siswa dalam
memecahkan masalah yang dihadapinya.
Dalam
makalah ini, membahas tentang permasalah danupaya penanganan masalah
penyesuaian diribpeserta didik usia sekolah menegah.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa saja upaya yang
dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri peserta didik usia
sekolah menengah terhadap penyelenggaraan pendidikan?
2.
Apa saja masalah
penyesuaian diri yang ada di peserta didik usia sekolah menengah (remaja)?
3.
Bagaimana karakteristik
masalah peserta didik usia sekolah menengah (remaja)?
4.
Apa saja masalah
peserta didik usia sekolah menengah (remaja)?
5.
Bagaimana penanganan
masalah remaja dengan cara mekanisme pertahanan diri?
1.3
Tujuan
1. Mengetahui
upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri peserta
didik usia sekolah menengah terhadap penyelenggaraan pendidikan.
2. Mengetahui
masalah penyesuaian diri yang ada di peserta didik usia sekolah menengah
(remaja).
3. Mengetahui
karakteristik masalah peserta didik usia sekolah menengah (remaja).
4. Mengetahui
masalah peserta didik usia sekolah menengah (remaja).
5. Mengetahui
penanganan masalah remaja dengan cara mekanisme pertahanan diri.
BAB II
PEMBAHASAN
Seseorang
tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu
menyesuaikan diri. Kondisi fisik, mental dan emosional dipengarungi oleh
faktor- faktor lingkungan dimana kemungkinan akan berkembang proses
penyesuaian diri yang baik atau yang salah, sejak lahir sampai meninggal
seorang individu merupakan organisme yang aktif. Ia aktif dengan tujuan dan
aktivitas yang berkesinambungan. Ia berusaha memuaskan kebutuhan jasmaninya.
Penyesuaian diri adalah suatu proses dan salah satu ciri pokok dari kepribadian
yang sehat mentalnya ialah memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuain diri secara
harmonis, baik kepada diri sendiri mapun terhadap lingkungannya.
Penyesuaian
berarti adaptasi, dapat mempertahankan eksistensinya (survive) dan memperoleh
kesejahteraan rohaniah, serta dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan
tuntutan sosial. Penyesuaian diri juga dapat diartikan bagai konvormitas, yang
menyesuaikan sesuatu dengan standart atau prinsip. Definisi lain mengenai
penyesuaian diri yaitu, kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi
respon- respon sedemikian rupa, sehingga bisa mengatasi segala macam konflik,
kesulitan, dan frustasi- frustasi secara efisien individu memiliki kemampuan
untuk menghadapi realitas hidup dengan cara yang memenuhi syarat. Penyesuaian
diri juga dapat diartikan sebagai suatu penguasaan dan kematangan emosional.
Kematangan emosional maksudnya ialah secara positif memiliki respon emosional
yang tepat pada setiap situasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri
sendiri dan lingkungannya.
2.1
Upaya Penyesuaian Diri
Peserta Didik Usia Sekolah Menengah terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Lingkungan
sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Selain
mengemban fungsi pendidikan (transformasi nilai dan norma sosial). Dalam kaitan
dengan pendidikan, peran sekolah tidak jauh berbeda dengan peran keluarga,
yaitu sebagai tempat perlindungan jika anak mengalami masalah. Oleh karena itu,
di setiap sekolah lanjutan diadakan guru bimbingan dan penyuluhan untuk
membantu siswa dalam memecahkan masalah yang di hadapinya.
Upaya
yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri remaja di
sekolah adalah sebagai berikut:
1.
Menciptakan situasi
sekolah yang dapat menimbulkan rasa betah bagi siswa, baik secara sosial, fisik
maupun akademis.
2.
Menciptakan suasana
belajar mengajar yang menyenangkan bagi siswa.
3.
Berusaha memahami siswa
secara menyeluruh, baik prestasi belajar, sosial, maupun aspek pribadinya.
4.
Menggunakan metode dan
alat mengajar yang mendorong gairah belajar.
5.
Menggunakan prosedur
evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar.
6.
Menciptakan ruangan
kelas yang memenuhi syarat kesehatan.
7.
Membuat tata tertib
sekolah yang jelas dan dipahami siswa.
8.
Adanya keteladanan dari
para guru dalam segala aspek pendidikan.
9.
Mendapatkan kerja sama
dan saling pengertian dari para guru dalam menjalankan kegiatan pendidikan.
10. Melaksanakan
program bimbingan dan penyuluhan yang sebaik-baiknya.
2.2
Masalah Penyesuaian
Diri Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
Pada
masa sekolah usia menengah pertama banyak sekali permasalahan. Semua itu
diantaranya meliputi gangguan perilaku dan gangguan belajar sosok pendamping
saat anak melaksanakan aktivitas sehari-hari adalah orang tua dan guru, peran
mereka sangatlah penting dalam penentuan masa depan anak, dan kesehatan.
Persoalan-persoalan tersebut dapat menghambat penyesuaian diri dan kegiatan
belajar. Oleh karena itu, perkembangan penyesuaian diri remaja sangat
bergantung pada sikap orangtua, suasana psikologis, dan sosial dalam kehidupan keluarga.
Penolakan
orangtua terhadap anaknya dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, penolakan
yang bersifat tetap sejak awal, orangtua tidak merasa sayang karena berbagai
sebab, seperti tidak menghendaki kelahiran. Kedua, akibat penolakan itu adalah
pura-pura tidak tahu keinginan atau masalah anak. Sebagai akibat dari kedua
jenis, remaja tidak betah dan tidak dapat menyesuaikan diri secara sehat,
sehingga cenderung menghabiskan waktunya diluar rumah.
Sikap
orangtua yang memberikan perlindungan berlebihan juga berakibat tidak baik.
Remaja yang mendapatkan perlindungan dan kasih sayang berlebihan akan
menyebabkan seorang anak tidak dapat hidup mandiri. Ia selalu mengharapkan
bantuan dan perhatian kepada orang laindan berusaha menarik perhatian orang
lain serta beranggapan bahwa perhatian seperti itu adalah haknya.
Sikap
orangtua yang otoriter, yang memaksakan otoritasnya kepada remaja,juga akan
menghambat proses penyesuaian diri mereka. Remaja akan berani melawan dan
menentang orangtuanya. Dan berbalik pada sikapnya sendiri yang otoriter
terhadap temannya, bahkan pada orang lain yang lebih dewasa.
Jelaslah
bahwa masalah penyesuaian diri yang dihadapi remaja dapat berasal dari
keretakan keluarga atau akibat overproteksi. Hasil penelitian psikologis
membuktikan bahwa remaja yang hidup dalam rumah tangga yang tidak harmonis
cenderung akan mengalami masalah emosional, yang terlihat dari adanya
kecenderungan marah-marah, suka menyendiri, serta gelisah dibandingkan dengan
remaja lainnya yang hiduo dalam keluarga harmonis.
2.3
Karakteristik Masalah
Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
Bagi
sebagian besar orang yang sudah beranjak dewasa, bahkan melewati usia dewasa,
remaja adalah waktu yang paling berkesan dalam hidup mereka. Kenangan saat
remaja merupakan kenangan yang tidak mudah dilupakan, sebaik atau seburuk
apapun saat itu. Adapun bagi orangtua yang memiliki anak berusia remaja, mereka
merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit. Banyak konflik yang
dihadapi oleh orangtua dan remaja itu sendiri. Banyak orangtua yang tetap
menganggap anak remajanya masih perlu dilindungi dengan ketat sebab di mata
mereka, ia masih belum siap menghadapi tantangan dunia orang dewasa.
Sebaliknya, bagi para remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan
untuk mencari jati diri yang mandiri dari pengaruh orangtua. Keduanya memiliki
kesamaan yang jelas: remaja adalah waktu yang kritis sebelum menghadapi hidup
sebagai orang dewasa.
Masa
remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia
maupun peranannya sering tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianngap
sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau
batasan untuk pengategorian remaja. Hal ini karena usia pubertas yang dahulu
terjadi pada akhir usia belasan (15-18), kini terjadi pada awal belasan, bahkan
sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau
sedang) mengalami purbetas, namun tidak berarti ia sudah bias dikatakan sebagai
remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi
dunia nyata orang dewasa meskipun di saat yang sama, ia juga bukan anak-anak
lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur,
remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya,
sering mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai
anak-anak, tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan
dewasa.
Memang
banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun sering
perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai
pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun, satu hal yang pasti, konflik yang
dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai
dimensi kehidupan dalam diri mereka. Untuk memahami remaja, perlu dilihat
berdasarkan dimensi-dimensi tersebut.
a. Dimensi
Biologis
Pada saat seorang anak
memasuki masa pubertas, yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja
putri maupun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis, dia mengalami
perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seseorang anak memiliki
kemampuan untuk bereproduksi.
b. Dimensi
Kognitif
Perkembangan kognitif
remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif)
merupakan periode terrakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi
formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja
sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang
kompleks dan abstrak.
c. Dimensi
Moral
Masa remaja adalah
periode saat seseorang mulai banyak bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena
yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri
mereka. Elliot Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai membuat
penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan
dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan
sosial, dan sebagainya. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral
reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya
kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan
kenyataan yang ada disekitarnya.
d. Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan
masa yang penuh gejolak. Pada masa ini, mood (suasana hati) bias berubah dengan
sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan
Real Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit
untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara
orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk melakukan hal yang sama. Perubahan
mood (swing) yang dratis pada para remaja ini dikarenakan beban pekerjaan
rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meskipun mood
remaja mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala
atau masalah psikologis.
2.4
Beberapa Masalah
Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
a. Permasalahan
Kesehatan Anak Usia Sekolah
Usia anak adalah periode yang sangat
menentukan kualitas masa remaja dan dewasa nanti. Sampai sekarang masih
terdapat perbedaan dalam menentukan usia anak. Menurut UU No.20 tahun 2002
tentang perlindungan anak dikatakan bahwa usia anak adalah sebelum usia 18 thun
dan belum menikah. American Academic of Pediabic tahun 1998 memberikan
rekomendasi yang lain tentang batasan usia anak, yaitu mulai dari fetus (janin)
hingga usia 21 tahun. Batas usia anak tersebut ditentukan berdasarkan
pertumbuhan fisik dan psikososial, perkembangan anak, dan karakteristik
kesehatannya.
Usia anak sekolah dibagi dalam usia
prasekolah, usia sekolah, remaja, awal usia dewasa hingga mencapai tahap proses
perkembangan yang sudah lengkap. Anak usia sekolah, baik tingkat prasekolah,
sekolah dasar, Sekolah Menengah Pertama, maupun Sekolah Atas adalah suatu masa
usia anak yang sangat berbeda dengan usia dewasa. Di dalam periode ini, banyak
permasalahan kesehatan yang sangat menentukan kualitas anak dikemudian hari.
Semua itu meliputi kesehatan umum, gangguan perkembangan, gangguan perilaku,
dan gangguan belajar. Semua ini akan menghambat pencapaian prestasi anak di
sekolah. Sayangnya permasalahan tersebut kurang begitu diperhatikan baik oleh
orang tua maupun guru.
Orang tua dan guru adalah sosok
pendamping saat anak melakukan aktivitas kehidupan setiap hari. Peran mereka
sangat dominan dan menentukan kualitas hidup anak di masa depan. Oleh karena
itu, sangatlah penting bagi mereka untuk mengetahui dan memahami permasalahan
dan gangguan kesehatan pada anak usia sekolah. Deteksi dini gagguan kesehatan
pada anak usia sekolah dapat mencegah atau mengurangi komplikasi yang
diakibatkan berbagai penyakit. Peningkatan perhatian terhadap kesehatan anak
usia sekolah diharapkan dapat tercipta anak usia sekolah Indonesia yang cerdas,
sehat, dan berprestasi.
1)
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Sekolah
Pertumbuhan adalah berkaitan dengan
masalah perubahan dalam besar, jumlah, dan ukuran dan dimensi tingkat sel,
organ maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat, panjang, umur
tulang, dan keseimbangan metabolik. Adapun perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Hal ini
menyangkut adanya proses diferensiasi sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ dan
sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat
memenuhi fungsinya. Termasuk di dalamnya adalah perkembangan emosi,
intelektual, dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Pertumbuhan berdampak terhadap aspek
fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ
individu. Kedua kondisi tersebut terjadi sangat berkaitan dan sangat mempengaruhi
setiap anak.
a) Jasmani
Adanya perubahan jasmani yang
mendadak dan cepat iramanya sehingga menimbulkan kebingungan dalam diri anak.
Secara biologis, ia telah matang dan siap untuk berperan sebagai pria atau
wanita.
b) Jiwa
Perkembangan kecerdasan berkembang
secara pesat, berpikirnya makin logis, dan kritis, fantasi makin kuat sehingga
seringkali terjadi konflik sendiri, penuh dengan cita-cita, mencari realita,
kebenaran dan tujuan hidup.
c) Rohani
Kehidupan agamanya berada dalam
persimpangan jalan, ada perasaan tidak aman karena terjadi perubahan fisik,
emosi, dan juga berpengaruh pada imannya sehingga kadang-kadang kekuasaan
tradisi kepercayaan dianggap mempersempit kebebasan dirinya yang banyak
menuruti keinginan diri sendiri (suara hatinya).
d) Sosial
Pengaruh yang besar datang dari
kelompoknya (teman sebaya), perubahan perilaku berhubungan dengan kehidupan
bersama, suka berkelompok dan masyarakat, ingin maju, suka membantu, sopan dan
memperhatikan orang lain, dan sebaganya.
2)
Permasalahan Kesehatan Anak Usia Sekolah
Secara epidermis, di Indonesia,
penyebaran penyakit berbasis lingkungan di kalangan anak sekolah masih tinggi.
Kasus infeksi seperti demam berdarah dengue, diare, cacingan, infeksi saluran
pencernaan akut, serta reaksi simpangan terhadap makanan akibat buruknya
sanitasi dan keamanan pangan. Selain itu, risiko gangguan kesehatan pada anak
akibat pencemaran lingkungan dari berbagai proses kegiatan pembangunan yang
semakin meningkat, seperti semakin meluasnya gangguan akibat paparan asap,
emisi gas buang sarana transportasi, kebisingan, limbah industri dan rumah
tangga, serta bencana. Selain lingkungan, masalah yang harus diperhatikan
adalah bentuk perilaku sehat pada anak sekolah.
Permasalahan perilaku kesehatan pada
anak usia TK dan SD biasanya berkaitan dengan kebersihan perseorangan dan
lingkungan seperti gosok gigi yang baik dan benar, kebiasaan cuci tangan pakai
sabun, kebersihan diri. Pada anak usia SLTP dan SMU (Remaja), masalah kesehatan
yang dihadapi biasanya berkaitan dengan perilaku berisiko, seperti merokok,
perkelahian antar pelajar, penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan
Zat Adiktif lainnya), kehamilan yang tidak diingini, abortus yang tidak aman,
infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS.
Permasalahan yang lain yang belum
begitu diperhatikan adalah masalah gangguan perkembangan dan perilaku pada anak
sekolah. Gangguan perkembangan dan perilaku pada anak sekolah sangat
bervariatif. Bila tidak dikenali dan ditangani sejak dini, gangguan ini akan
mempengaruhi prestasi belajar dan masa depan anak. Selanjutnya, akan dibahas
tentang permasalahan kesehatan anak usia sekolah, diantaranya adalah penyakit menular,
penyakit noninfeksi, gangguan pertumbuhan, gangguan perkembangan dan perilaku.
a) Penyakit
menular pada anak sekolah
Penyakit yang cukup mengganggu dan
berpotensi mengancam jiwa adalah penyakit menular pada anak sekolah. Sekolah
merupakan tempat yang paling memungkinkan sebagai sumber penularan penyakit
infeksi pada anak usia sekolah. Infeksi menular yang dapat menular di
lingkungan sekolah adalah: demam berdarah dengue, infeksi tangan mulut, campak,
rubela (campak jerman), cacar air, gondong dan infeksi mata (konjungtivitas
virus).
b) Penyakit
noninfeksi
Penyakit noninfeksi ini tidak bisa
menular tapi sangat membahayakan bagi anak yang terjangkit, anak yang
terjangkit penyakit noninfeksi akan berakibat juga pada pertumbuahan anak
sekolah. Penyakit noninfeksi ini meliputi: Alergi, infeksi parasit cacing, dan
gangguan pertumbuhan.
c) Gangguan
perkembangan dan perilaku anak sekolah
Gangguan perkembangan dan perilaku
pada anak sangatlah luas dan bervaiasi. Gangguan yang dapat terjadi pada anak
sekolah adalah gangguan belajar, konsentrasi, bicara, emosi, hiperaktif, ADHD,
hingga autism.
3) Imunisasi
Usia Sekolah
Menurut Program Pengembangan
Imunisasi yang direkomendasikan Departemen Kesehatan Indonesia dan Ikatan
Dokter Anak Indonesia, Imunisasi wajib yang harus diberikan untuk anak usia
sekolah adalah DPT dan polio untuk anak kelas 1 SD, DT dan Tf untuk anak kelas
VI dan polio ulang saat anak 16 tahun dan imunisasi campak ulang pada kelas 1
bila belum mendapatkan imunisasi MMR. Bila sebelum usia sekolah belum melakukan
imunisasi, program imunisasi yang dilakukan adalah MMR dan cacar air.
4) Upaya
Peningkatan Kesehatan Anak Sekolah
Untuk peningkatan kesehatan anak
sekolah dengan titik berat pada upaya promotif dan preventif didukung oleh
upaya kuratif dan rehabilitatif yang berkuasa, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
menjadi sangat penting dan strategis; untuk mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. UKS bukan hanya dilaksanakan di Indonesia, tetapi
dilaksanakan diseluruh dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah
mencanangkan konsep Sekolah Sehat atau Health Promoting School (Sekolah yang
mempromosikan kesehatan).
5) Kesehatan
Reproduksi Peserta Didik Usia Sekolah Menengah
Remaja adalah masa peralihan antara
taap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda. Cirinya adalah
alat-alat reproduksi mulai berfungsi, libido mulai muncul, intelegensi mencapai
puncak perkembangannya, emosi sangat labil, kesetiakwanan yang kuat terhadap
teman sebaya, dan belum menikah. Kurun usia remaja sering disebut sebagai
peralihan periode strum und drang, yaitu periode peralihan antara anak-anak dan
masa remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari identitas diri,
memantapkan posisi dalam masyarakat tersebut, dan sebagainya.) maupun oleh
pertumbhan fisik (perkembangan tanda-tanda seksual sekunder, pertumbuhan tubuh
yang tidak proporsional, dan sebaginya.) dan perubahan emosi (lebih peka, lebih
cepat marah, agresif, dan sebagainya), serta perkembangan intelegasinya (makin
tajam bernalar, makin kritis, dan sebagainya).
Kurun usia remaja ini berbeda-beda
panjangnya dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Pada masyarakat primitif
(pedesaan), usia remaja relatif singkat. Karena pada waktu anak sudah
menunjukkan tanda-tanda akhil balig, dilakukan upcara inisiasi dan setelah itu
anak sudah berstatus dewasa. Syaratnya pun tidak terlalu berat, asalkan bisa
membantu ayah di sawah atau membantu ibu di dapur. Adapun pada masyarakat
modern, kurun usia remaja bisa lebih panjang, antara 11-24 tahun. Penyebabnya adalah
semakin awal tanda-tanda akil balig, maka persyaratan untuk menjadi remaja
semakin berat (harus sekolah dulu, punya pekerjaan dulu).
Dengan panjangnya akil balig pertama
sampai kematangan sosial yang diharapkan, akan menimbulkan peluang lebih besar
bagi hubungan seks pranikah dengan segala akibatnya: kehamilan tanpa rencana,
kawin muda, aborsi, dikeluarkan dari sekolah, anak luar nikah dan penyakit
menular seksual, termasuk AIDS. Hal ini didorong oleh penyebaran pornografi dan
rangsangan seksual lainnya sehubungan makin canggihnya teknologi media dan
komunikasi massa.
Cara-cara yang dapat diambil untuk
mengurangi seks bebas adalah agama, dan pendidikan seks. Apabila para remaja
mengenal pendidikan agama dan mempunyai iman yang kuat, agama akan dapat
menjadi benteng dari perbuatan-perbuatan maksiat. Cara lainnya adalah dengan
memberikan pendidikan seks, pendidikan seks bukan hanya penerangan tentang
seks, tetapi mengandung makna nilai-nilai (baik-buruk, benar-salah).
b. Masalah
Remaja dan Rokok
Meskipun semua orang tau bahaya yang
ditimbulkan akibat merokok, akan tetapi para perokok tidak pernah surut dan
tampaknya dapat di tolerir oleh masyarakat. Hal yang paling memprihatinkan
adalah usia perokok yang setiap tahun semakin muda. Bila dulu orang mulai
berani merokok saat SMP, maka sekarang anak-anak SD kelas 5 sudah merokok
secara diam-diam.
1) Bahaya
rokok
Rokok sangat merugikan bagi
kesehatan, akan tetapi masih banyak orang yang tetap memilih untuk
menikmatinya. Racun dan karsinogen yang timbul akibat pembakaran tembakau dapat
memicu terjadinya kanker.
2) Tipe-tipe
perokok
Seseorang dapat dikatakan sebagai
perokok berat apabila mengkonsumsi 31 batang rokok setiap harinya dan selang
merokoknya 5 menit setelah bangun pagi. Perokok berat merokok sekitar 21-30
batang sehari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar antara 6-30 menit.
Perokok sedang menghabiskan rokok 11-21 batang dengan selang waktu 31-60 menit
setelah bangun pagi. Perokok ringan menghabiskan rokok sekitar 10 batang dengan
selang waktu 60 menit dari bangun pagi.
Menurut Silvan Tomkins (dalam Al
Bachri 1991), ada 4 tipe perilaku merokok berdasarkan Management of affect
theory, keempat type tersebut adalah:
a) Type perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif.
a) Type perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif.
b) Perilaku
merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif.
c) Perilaku
merokok yang adiktif.
d) Perilaku
merokok yang sudah menjadi kebiasaan.
3) Penyebab
remaja merokok
a) Pengaruh
orang Tua
b) Pengaruh
teman
c) Faktor
kepribadian
d) Pengaruh
iklan
4) Upaya
pencegahan
Dalam upaya prevensi, motivasi untuk
menghentikan perilaku merokok penting untuk dipertimbangkan dan dikembangkan.
Dengan menumbuhkan motivasi untuk berhenti atau tidak mencoba untuk merokok
akan membuat mereka tidak terpengaruh oleh godaan merokok yang datang dari
teman, media massa, atau kebiasaan keluarga atau orang tua.
c. Remaja
dan Perilaku Konsumtif
Belanja adalah kata yang sering
digunakan sehari-hari dalam konteks perekonomian, baik di dunia usaha maupun
rumah tangga. Namun kata ini telah berkembang artinya sebagai suatu cerminan
gaya hidup dan rekreasi pada masyarakat kelas ekonomi tertentu. Belanja juga
mempunyai arti tersendiri bagi remaja.
1) Pola hidup konsumtif
1) Pola hidup konsumtif
Kata konsumtif berarti keinginan
untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara
berlebihan dengan mencapai tujuan dengan kepuasan maksimal.
2) Perilaku
konsumtif remaja
Bagi produsen, kelompok usia remaja
merupakan salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain pola konsumsi
seseorang terbentuk pada usia remaja. Di samping itu, remaja biasanya mudah
terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikut teman, tidak realistis, dan cenderung
boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan
oleh sebagaian produsen untuk memasuki pasar remaja.
d. Perkelahian Pelajar
d. Perkelahian Pelajar
Perkelahian atau yang sering disebut
tawuran, sering terjadi diantara pelajar. Bahkan, bukan “hanya” antarpelajar
SMU, tetapi juga sudah melanda kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa
berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.
1) Dampak perkelahian pelajar
1) Dampak perkelahian pelajar
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini
sangat merugikan banyak pihak. Paling tidak ada 4 dampak negatif dari
perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat
perkelahian jelas mengalami dampak negatif apabila mengalami cedera atau bahkan
tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halte dan fasilitas lainnya,
serta fasilitas pribadi seperti kaca toko dan kendaraan. Ketiga, terganggunya
proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin yang dikhawatirkan para pendidik,
adalah kurangnya penghargaan siswa terhadap perdamaian dan nilai-nilai hidup
orang lain.
2) Pandangan
umum terhadap perkelahian pelajar
Sering dituduhkan, pelajar yang
berkelahi berasal dari sekolah kejuruan, atau dari keluarga dengan ekonomi rendah.
Data di Jakarta tidak mendukung hal ini, Dari 275 sekolah yang sering terlibat
perkelahian, 77 diantaranya adalah sekolah menengah umum. Begitu juga
ekonominya, sebagian pelajar yang sering berkelahi berasal dari keluarga yang
mampu secara ekonomi.
Padahal penyebab perkelahian pelajar
tidaklah sesederhana itu. Terutama dikota besar, masalahnya begitu kompleks,
meliputi faktor psikologis, budaya, sosiologis, juga kebijakan pendidikan dalam
arti luas (kurikulum yang padat misalnya), seta kebijakan publik lainnya
seperti angkutan umum dan tata kota.
3) Tinjauan
psikologi penyebab remaja terlibat perkelahian
Dalam pandangan psikologi, setiap
perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam individu (sering
disebut kepribadian, walaupun tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Begitu
pula dalam hal perkelahian pelajar. Bila dijabarka, terdapat sedikitnya 4
faktor psikologis yang menyebabkan perkelahian pelajar.
a) Faktor Internal
a) Faktor Internal
Remaja yabf terlibat perkelahian
biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks.
Kompleks disini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat
ekonomi, dan semua rangsangan dari lingkungan yang semakin lama semakin beragam
dan banyak. Situasi ini akan menimbulkan tekanan pada setiap orang.
b) Faktor
keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan
(entah antar orangtua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak,
ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya,
sehingga wajar apabila dia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orangtua yang
terlalu melindungi anaknya, menyebabkan si anak ketika remaja akan tumbuh
sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya
yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya
secara total terhadap kelompoknya sebagai identitas yang dibangunnya.
c) Faktor
sekolah
Sekolah pertama-tama bukan dipandang
sebgai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu, tetapi terlebih
dahulu harus dinilai dari kualitas mengajarnya. Karena itu, lingkungan sekolah
yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang
monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas
praktikum, dsb) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan diluar
sekolah bersama teman-temannya. Setelah itu, masalah pendidikan, dan guru jelas
memainkan peranan yang penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai penghukum
dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya jega menggunakan
kekerasan dalam mendidik siswanya.
d) Faktor
lingkungan
Lingkungan diantara rumah dan sekolah
sehari-hari dialami remaja, juga membawa dampak terhadap munclnya perkelahian.
Misalnya dilingkungan rumag yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang
berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang
sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh
kekerasan. Semua itu dapat merangsang remaja erbuat sesuatu dari lingkungannya,
kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku
berkelahi.
5) Faktor
penyebab perilaku agresi
Bagi warga jakarta, aksi-aksi
kekerasan, baik individual maupun massa, mungkin merupakan berita harian. Saat
ini beberapa televisi, bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan
berita-berita tentang kekerasan. Hal-hal yang terjadi pada saat tawuran
sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Agresi
itu sendiri oleh Murray (dalam Hall & Lindzey, psikologi Kepribadian, 1993)
didiefinisikan sebagai suatu cara melawan dengan sangat kuat, berkelahi,
melukai, menyerang, membunuh, atau menghukum orang lain atau secara singkatnya
agresi adalah tindakan yang dimaksudkan untuk melukai orang lain atau merusak
milik orang lain. Faktor-faktor yang dapat menadi pemicu perilaku agresi
tersebut antara lain:
1) Amarah
2) Faktor
biologis
3)
Kesenjangan generasi
4)
Lingkungan
5) Peran
belajar model kekerasan
6) Frustasi
7) Proses
kedisiplinan yang keliru.
2.5
Penanganan Masalah
Remaja dengan cara Mekanisme Pertahanan Diri
Sebagian
individu mereduksi perasaan, kecemasan,stress, ataupun konflik dengan melakukan
mekanisme pertahanan diri, baik yang ia lakukan secara sadar ataupun tidak. Hal
ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Freud sebagai berikut: Such
defense mechanism are put into operation whenever anxiety signals a danger that
the original unacceptabla impulses may reemerge (Microsoft Encarta Encyclopedia
2002).
freud
menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) untuk
menunjukkan proses tak sadar yang melindungi yang melindungi si individu dari
kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Pada dasarnya strategi-strategi ini
tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara individu memersepsi
atau memikirkan masalah itu. Jadi, mekanisme pertahanan diri melibatkan unsur
penipuan diri.
Istilah
mekanisme bukan istilah yang paling tepat karena menyangkut semacam peralatan
mekanik. Istilah tersebut mungkin karena Freud banyak dipengaruhi oleh kecenderungan
abad ke-19 yang memandang manusia sebagai mesin yang rumit. Berikut beberapa
mekanisme pertahanan diri yang biasa terjadi dan dilakukan oleh sebagian besar
individu, terutama remaja yang sedang mengalami pergaulan dahsyat dalam
perkembangannya kea rah kedewasaan. Mekanisme pertahanan diri berikut,
diantaranya dikemukakan oleh Freud, tetapi beberapa orang yang lain
merupakanhasil pengembangan ahli psikionalistis lainnya.
1. Represi
Represi
didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustasi, konflik
batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan.
Bila represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki
kesadaran walaupun masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Jenis-jenis
amnesia tertentu dapat dipandang sebagai bukti adanya represi, tetapi represi
juga dapat terjadi dalam situasi yang tidak terlalu menekan. Bahwa individu
merepresikan mimpinya, karena mereka membuat keinginan di bawah sadar yang
menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Pada umumnya, banyak individu yang pada
dasarnya menekankan aspek positif dari kehidupannya. Beberapa bukti, misalnya:
a.
Individu cenderung untuk tidak
berlama-lama mengenali sesuatu yang tidak menyenangkan, dibandingkan dengan
hal-hal yang menyenangkan,
b.
Berusaha sedapat mungkin untuk tidak
melihat ganbar kejadian yang menyesakkan dada,
c.
Lebih sering mengomunikasikan berita
baik daripada berita buruk,
d.
Lebih mudah mengingat hal-hal yang
positif daripada yang negative,
e.
Lebih sering menekankan kejadian
yang membahagiakan dan enggan menekankan yang tidak membahagiakan.
2. Supresi
Supresi
merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan untuk
menjaga agar impuls-impuls dan dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan
cara menahan perasaan itu secara pribadi, tetapi mengingkarinya secara umum).
Individu sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatan yang menyakitkan agar
dapat menitikberatkan kepada tugas. Ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas
(supresi), tetapi umumnya tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan
yang ditekan (represi).
3. Reaction
Formation (Pembentukan Reaksi)
Individu
dikatakan mengadakan pembentukan reaksi ketika dia merusaha menyembunyikan
motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara supresi atau
represi), dan menampilkan ekspresi wajah yang berlawanan dengan yang
sebetulnya. Dengan cara ini, individu tersebut dapat menghindarkan diri dari
kecemasan yang disebabkan oleh keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi
yang tidak menyenangkan. Kebencian, misalnya tidak jarang dibuat samar dengan
menampilkan dan tindakan yang penuh kasih saying, atau dorongan seksual yang
besar dibuat samar dengan sikap sok suci, dan permusuhan ditutupi dengan tindak
kebaikan.
4. Fiksasi
Dalam
menghadapi kehidupannya, individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang
membuatnya frustasi dan mengalami kecemasan, sehingga individu tersebut merasa
tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya
terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi
terfiksasi pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan
kecemasan. Individu yang sangat bergantung pada individu lain merupakan salah
satu contoh pertahanan diri dengan fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi
mandiri. Remaja yang mengalami perubahan drastic sering dihadapkan untuk
melakukan mekanisme ini.
5. Regresi
Regresi
merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi frustasi,
setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang
menghadapi tekanan kembali melakukan sesuatu yang khas bagi individu yang
berusia lebih muda. Ia memberikan respon seperti individu yang lebih muda (anak
kecil).
6.
Menarik diri
Reaksi ini
merupakan respon yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu menarik diri,
dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Biasanya repon ini disertai
dengan depresi dan sikap apatis.
7.
Mengelak
Bila merasa
diliputi oleh stress yang lama, kuat dan terus menerus, individu cenderung
untuk mencoba mengelak atau mereka akan menggunakan metode yang tidak langsung.
8.
Denial (Menyangkal Kenyataan)
Bila
individu menyangkal kenyataan, dia menganggap tidak ada atau menolak adanya
pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya) dengan
maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga mengandung
unsure penipuan diri.
9.
Fantasi
Dengan
berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa
mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa
yangtidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan dapat menimbulkan
frustasi.
10. Rasionalisasi
Rasionalisasi
sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alas an yang dapat
di terima secara social untuk membenarkan atau menyembunyikan perilaku yang
buruk. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan
berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik,atau yang baik adalah buruk.
11. Intelektualitas
Apabila
individu menggunakan teknik intelektualitas, dia menghadapi situasi yang
seharusnya menimbulkan perasaan yang sangat amat menekan dengan cara analitik,
intelektual, dan sedikit menjauh dari persoalan.
12. Proyeksi
Individu
yang menggunakan teknik proyeksi biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri
pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu
cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi
kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri.
Dalam hal ini, represi atau supresi sering dipergunakan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Kesimpulan
dari makalah ini adalah :
1. Upaya
yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri peserta didik
usia sekolah menengah terhadap penyelenggaraan pendidikan yaitu dengan
menciptakan suasana lingkungan sekolah maupun pendidik yang mendukung prestasi
belajar siswa, sehat, dan menciptakan peserta didik yang bersosial baik.
2. Masalah
yang muncul dan dihadapi oleh peserta didik usia sekolah menengah dalam
penyesuaian diri timbul dari lingkungan keluarga, kesehatan dan dalam
lingkungan sekolah.
3. Terdapat
beberapa dimensi karakteristik masalah peserta didik usia sekolah menengah
antara lain, dimensi biologis, dimensi kognitif, dimensi moral, dan dimensi
psikologis.
4. Beberapa
masalah peserta didik usia sekolah menengah adalah permasalahan kesehatan anak
usia sekolah menengah, merokok, pola hidup konsumtif, dan perkelahian remaja.
5. Penanganan
permasalahan remaja dengan cara mekanisme pertahanan diri yaitu, represi,
supresi, reaction formation (pembentukan reaksi), fiksasi, regresi, menarik
diri, mengelak, denial, fantasi, rasionalisasi, intelektualisasi, dan proyeksi.
6. Orang
yang paling berpengaruh untuk mengarahkan anak dalam masa remaja adalah peran
aktif orangtua. Disamping itu, di lingkungan sekolah seorang pendidik yang
berperan dalam perkembangan jiwa, selain mengemban fungsi sebagai pengajar.
DAFTAR
RUJUKAN
Fatimah, Enung. 2006. Psikologi
Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia Bandung
No comments:
Post a Comment